Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Skandal Korupsi Pertamina Rp193 Triliun: Mafia Minyak Guncang Politik Prabowo

Jakarta, detikWarta.com, 8 Maret 2025 – Skandal korupsi di PT Pertamina (Persero), perusahaan minyak dan gas milik negara, kini menjadi sorotan utama di Indonesia. Dengan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun atau setara $12 miliar, kasus ini bukan hanya soal angka, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik terhadap tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan janji anti-korupsi Presiden Prabowo Subianto yang baru menjabat. Dugaan keterlibatan “mafia minyak” yang melibatkan elit politik semakin memanaskan suasana, menjadikan ini salah satu berita politik paling viral di awal 2025. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan bagaimana dampaknya terhadap pemerintahan baru? Berikut ulasan lengkapnya.

image by wartadetik.com

Skandal ini terungkap setelah Kantor Jaksa Agung (AGO) melakukan penyelidikan intensif terhadap pengadaan minyak mentah dan produk minyak oleh Pertamina antara 2018 hingga 2023. Pada 24 Februari 2025, AGO mengumumkan penangkapan tujuh tersangka, termasuk empat eksekutif senior dari anak perusahaan Pertamina. Di antara nama-nama besar yang ditahan adalah Riva Siahaan, Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, dan Yoki Firnandi, CEO Pertamina International Shipping. Ketiga tersangka lainnya berasal dari sektor swasta, diduga sebagai mitra dalam skema korupsi ini.

Menurut laporan Channel News Asia (CNA), para tersangka dituduh melanggar aturan yang mewajibkan Pertamina memprioritaskan pemasok domestik sebelum melakukan impor. Namun, bukti menunjukkan adanya impor minyak ilegal dan manipulasi kontrak pengiriman yang menyebabkan kerugian negara hingga $12 miliar. Salah satu modus yang terdeteksi adalah penjualan bahan bakar bersubsidi Pertalite sebagai Pertamax—produk premium yang lebih mahal—sehingga menciptakan keuntungan haram bagi para pelaku.

Puncaknya, pada 3 Maret 2025, CEO Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengeluarkan permintaan maaf publik. Dalam pernyataannya kepada Reuters, ia berjanji akan meningkatkan transparansi dan bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta AGO untuk mengusut tuntas kasus ini. Namun, permintaan maaf itu tak serta-merta meredam kemarahan publik yang sudah telanjur mendidih.

Angka Rp193,7 triliun bukan sekadar statistik. Untuk memberikan gambaran, jumlah ini setara dengan lebih dari setengah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan tahun 2025, yang mencapai Rp346 triliun. Kerugian sebesar ini juga menempatkan skandal Pertamina sebagai salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia, melampaui skandal Bank Century (Rp6,7 triliun) dan bahkan mendekati kasus e-KTP (Rp2,3 triliun).

Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, dalam wawancara dengan South China Morning Post, menyebut kerugian ini sebagai bukti nyata adanya “mafia minyak” yang telah beroperasi selama bertahun-tahun. “Ini bukan sekadar kelalaian, tapi sistem yang dirancang untuk menguntungkan segelintir orang,” ujarnya. Ia juga menyinggung dugaan keterkaitan mafia ini dengan elit politik, termasuk pejabat kementerian, badan negara, hingga anggota DPR, meskipun belum ada nama spesifik yang disebutkan dalam investigasi resmi.

Meskipun skandal ini terjadi sebelum masa jabatan Prabowo dimulai, kasus ini menjadi ujian pertama bagi janji kampanyenya untuk memberantas korupsi dan mengakhiri praktik “mafia” di sektor strategis. Dalam pidato pelantikannya pada Oktober 2024, Prabowo menegaskan komitmennya untuk memperkuat tata kelola BUMN dan memastikan sektor energi bebas dari korupsi. Namun, skandal Pertamina yang meletus di awal 2025 mengancam kredibilitasnya.

Analis politik dari Universitas Indonesia, Dr. Bima Arya, menilai kasus ini bisa menjadi “bom waktu” politik. “Jika Prabowo gagal menangani ini dengan tegas, kepercayaan publik yang baru dibangun bisa runtuh. Tapi jika berhasil, ini bisa jadi modal besar untuk lima tahun ke depan,” katanya kepada detikWarta.com. Publik kini menanti langkah konkret pemerintah, apakah akan ada reshuffle di jajaran ESDM atau bahkan audit menyeluruh terhadap semua BUMN.

Sementara itu, dugaan keterlibatan elit politik sebelumnya juga mencuat. Nama Mohammad Riza Chalid, pengusaha minyak yang pernah terseret dalam skandal “Papa Minta Saham” pada 2015—yang menyeret nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla—kembali disebut-sebut. Menurut Jakarta Globe, AGO sedang menyelidiki peran Riza dalam skandal ini, meskipun belum ada bukti konkret yang mengaitkannya dengan pemerintahan saat ini.

Skandal ini tak hanya jadi bahan perbincangan di ruang redaksi, tapi juga meledak di media sosial. Postingan di X dari akun @jakpost pada 25 Februari 2025, yang menyebut ancaman hukuman mati bagi tersangka, mendapat ribuan retweet dan komentar. “Hukuman mati saja tak cukup, selamatkan uang rakyat!” tulis seorang warganet. Tagar #MafiaMinyak dan #PertaminaKorup juga trending di X, mencerminkan kekecewaan publik terhadap BUMN yang selama ini dianggap sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Di dunia nyata, sejumlah organisasi masyarakat sipil menggelar aksi protes di depan kantor pusat Pertamina di Jakarta pada 1 Maret 2025. Mereka menuntut pengusutan menyeluruh dan reformasi tata kelola BUMN. “Pertamina bukan milik segelintir orang, tapi milik rakyat. Jangan biarkan mafia terus berkuasa,” teriak seorang demonstran, sebagaimana dilaporkan Indonesia Business Post.

image by wartadetik.com

Kasus ini juga menarik perhatian media internasional. Bloomberg menyebut skandal ini sebagai “pukulan telak” bagi sektor energi Indonesia, yang sedang berupaya menarik investasi asing untuk proyek-proyek strategis seperti hilirisasi minyak dan gas. Reuters menyoroti janji Pertamina untuk memperbaiki transparansi, tapi mempertanyakan efektivitasnya di tengah dugaan campur tangan politik yang kuat.

Dari sisi ekonomi, skandal ini berpotensi memengaruhi harga bahan bakar di dalam negeri. Dengan dugaan manipulasi Pertalite dan Pertamax, publik khawatir akan ada kenaikan harga atau gangguan pasokan, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran 2025. Ekonom senior Faisal Basri memperingatkan, “Jika kepercayaan investor jatuh, dampaknya bisa meluas ke nilai tukar rupiah dan inflasi.”

Ada beberapa detail yang membuat skandal ini semakin rumit. Pertama, sejarah korupsi di Pertamina bukan hal baru. Menurut Tempo.co, setidaknya 12 petinggi Pertamina pernah terseret kasus korupsi sejak 1970-an, termasuk skandal pembelian kapal tanker pada 2004 yang merugikan Rp568 miliar. Kedua, muncul spekulasi bahwa skandal ini sengaja “diledakkan” untuk menggoyang stabilitas politik di awal masa jabatan Prabowo, meskipun teori ini belum terbukti.

Ketiga, ada sorotan pada peran ESDM. Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa kementerian ini tidak mendeteksi penyimpangan sejak awal, mengingat Pertamina berada di bawah pengawasannya. “Ini bukan hanya soal Pertamina, tapi juga soal sistem pengawasan yang lemah,” kata seorang sumber di DPR yang enggan disebut namanya.

Pemerintah kini berada di persimpangan. Langkah pertama yang diharapkan adalah pengusutan menyeluruh, tak hanya pada eksekutif Pertamina, tapi juga pihak-pihak eksternal yang diduga terlibat, termasuk “mafia minyak”. Kedua, reformasi tata kelola BUMN menjadi kebutuhan mendesak, mulai dari penguatan audit independen hingga pengurangan campur tangan politik dalam pengangkatan direksi.

Ketiga, publik menanti sikap tegas Prabowo. Apakah ia akan membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini, atau justru memilih pendekatan hati-hati untuk menjaga stabilitas? Yang jelas, skandal ini telah menempatkan pemerintahan barunya di bawah mikroskop publik.

Skandal korupsi Pertamina senilai Rp193 triliun bukan hanya kasus hukum, tapi juga cerminan tantangan sistemik dalam tata kelola energi dan politik Indonesia. Dengan dugaan keterlibatan “mafia minyak”, ujian bagi Prabowo, dan kemarahan publik yang meluap, kasus ini dipastikan akan terus menjadi sorotan sepanjang 2025. Bagi rakyat, pertanyaan besarnya adalah: akankah keadilan ditegakkan, atau ini hanya jadi babak lain dalam drama korupsi yang tak pernah usai?