Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perangkat Desa "ANAK TIRI" Prabowo Yang Tak Berhak Mendapatkan THR dan Gaji Ke-13

Di tengah euforia pembangunan desa yang menjadi salah satu pilar utama visi Presiden Prabowo Subianto, sebuah keluh kesah mencuat dari para perangkat desa di berbagai pelosok Indonesia. Mereka yang menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat di tingkat desa mengaku merasa "dianaktirikan" oleh pemerintahan baru.

Salah satu isu yang paling mengemuka adalah kepastian bahwa perangkat desa tidak berhak menerima Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13, dua komponen kesejahteraan yang selama ini menjadi hak Aparatur Sipil Negara (ASN). Ketidakadilan ini, menurut mereka, mencerminkan minimnya perhatian pemerintah terhadap peran strategis perangkat desa yang bekerja tanpa henti melayani masyarakat.

Wartawan detikwarta.com melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah perangkat desa di beberapa kabupaten di Indonesia, seperti Kabupaten Lampung Utara (Lampung), Kabupaten Kediri (Jawa Timur), Kabupaten Manggarai Barat (Nusa Tenggara Timur), dan Kabupaten Bandung Barat (Jawa Barat).

Hasilnya, terdapat kesamaan nada: kekecewaan terhadap status mereka yang tak kunjung jelas dan kesejahteraan yang dianggap timpang dibandingkan ASN. Artikel ini mengkurasi berbagai sumber resmi, pernyataan pemerintah, dan keterangan langsung dari perangkat desa untuk menggambarkan situasi secara utuh, tajam, dan dapat dipercaya.

Status Perangkat Desa: Bukan ASN, Bukan PPPK

Kepastian bahwa perangkat desa tidak menerima THR dan gaji ke-13 bukanlah hal baru. Pada Maret 2024, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian secara tegas menyatakan bahwa kepala desa dan perangkat desa tidak akan mendapatkan THR maupun gaji ke-13 karena mereka tidak tergolong ASN atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Tito menegaskan, “Tidak ada anggaran dari APBN atau APBD yang dialokasikan untuk THR perangkat desa, karena tidak ada regulasi yang mengaturnya.” Pernyataan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang tidak menyebutkan THR sebagai hak perangkat desa.

Namun, pernyataan ini kembali memicu gelombang kekecewaan di kalangan perangkat desa, terutama setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada Oktober 2024. Mereka berharap pemerintahan baru yang mengusung semangat pembangunan berbasis desa akan membawa angin segar, termasuk dalam hal kesejahteraan.

“Kami berharap Pak Prabowo lebih peka terhadap kami yang ada di lapangan. Desa itu fondasi negara, tapi kok kami diperlakukan seperti anak tiri,” ungkap Suryadi, seorang sekretaris desa di Kecamatan Abung Barat, Kabupaten Lampung Utara, dalam wawancara dengan detikwarta.com pada 5 Maret 2025.

Suryadi, yang telah mengabdi selama 12 tahun, menjelaskan bahwa penghasilan tetap (siltap) perangkat desa di desanya berkisar Rp2,5 juta per bulan, termasuk tunjangan.

Namun, tanpa THR dan gaji ke-13, ia merasa sulit memenuhi kebutuhan keluarga, terutama menjelang hari raya. “PNS dapat THR full, gaji ke-13 juga cair. Kami yang kerja 24 jam untuk warga desa malah cuma dapat siltap doang. Apa ini bukan diskriminasi?” keluhnya.

Kesejahteraan Perangkat Desa Antara Angka dan Realitas

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019, penghasilan tetap perangkat desa ditetapkan minimal Rp2.022.200 per bulan, setara dengan gaji PNS golongan II/a. Tunjangan tambahan, seperti tunjangan jabatan, kinerja, dan kesejahteraan, bervariasi antar daerah, rata-rata mencapai Rp700.000 hingga Rp750.000 per bulan, sebagaimana dilaporkan UMSU pada 2024.

Namun, angka ini tidak merata. Di Kabupaten Bandung Barat, misalnya, Rahmat Kurniawan, Ketua Forum Sekretaris Desa, mengungkapkan bahwa siltap sering telat cair karena Anggaran Dana Desa (ADD) dari pemda tersendat.

“Kami pernah tidak digaji selama tiga bulan pada 2021. Sekarang, menjelang Ramadan 2025, kami cuma bisa berharap siltap cair tepat waktu, apalagi THR jelas tidak ada,” ujar Rahmat kepada detikwarta.com pada 6 Maret 2025. Ia menambahkan bahwa banyak perangkat desa terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebuah ironi mengingat mereka adalah tulang punggung pemerintahan desa.

Di Kabupaten Kediri, Jawa Timur, seorang bendahara desa bernama Wulan mengeluhkan hal serupa. “Kami kerja dari pagi sampai malam, urus administrasi, bantu warga, sampai ke urusan bencana. Tapi saat Lebaran, PNS dapat THR sebesar gaji pokok plus tunjangan, kami cuma lihat dari jauh,” katanya dalam wawancara pada 7 Maret 2025. Wulan menyoroti bahwa siltap Rp2,7 juta yang ia terima jauh dari cukup untuk menutupi biaya hidup, terutama dengan inflasi yang terus naik.

image by wartadetik.com

Aspirasi yang Tak Terakomodasi

Kekecewaan perangkat desa terhadap pemerintahan Prabowo juga dipicu oleh harapan yang sempat membumbung tinggi pasca-terbitnya UU No. 3 Tahun 2024 tentang Desa. Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) dan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PPDI berulang kali menyuarakan aspirasi agar status perangkat desa diakui setara dengan ASN, lengkap dengan hak-hak seperti THR dan gaji ke-13. Surat terbuka kepada Presiden Prabowo yang beredar pada Desember 2024, sebagaimana dilansir puskominfo-ppdi.or.id, menegaskan tuntutan ini.

“Kami memohon kejelasan status dalam struktur pemerintahan. Tugas kami strategis, tapi kami tidak dapat perlindungan kerja yang layak,” tulis surat tersebut. Namun, hingga Maret 2025, belum ada tanda-tanda pemerintah akan mengakomodasi tuntutan tersebut. Mujito, Ketua PPDI, pernah mengkritik Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 2018 karena dianggap “menganakemaskan” kepala desa ketimbang perangkat desa. Kini, nada serupa kembali terdengar, kali ini ditujukan pada Prabowo.

Di Kabupaten Manggarai Barat, NTT, seorang kepala dusun bernama Markus menuturkan bahwa janji kampanye Prabowo tentang pembangunan desa terasa hampa tanpa perhatian pada kesejahteraan perangkat desa. “Kami dengar Pak Prabowo mau fokus ke desa, tapi kok kami yang di lapangan tidak diperhatikan? THR saja tidak ada, padahal kami yang urus warga tiap hari,” katanya kepada detikwarta.com pada 8 Maret 2025.

Regulasi dan Batasan Anggaran

Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, konsisten menyatakan bahwa THR dan gaji ke-13 hanya diperuntukkan bagi ASN berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pemberian THR dan Gaji Ke-13 kepada ASN, Pensiunan, dan Penerima Tunjangan.

Juru bicara Kemendagri, yang enggan disebutkan namanya, menjelaskan kepada wartadetik.com pada 10 Maret 2025 bahwa anggaran untuk perangkat desa bersumber dari APBDesa, yang bergantung pada Dana Desa dan ADD. “Tidak ada ruang dalam APBN untuk THR perangkat desa. Itu kewenangan pemda, tapi kebanyakan pemda juga tidak sanggup,” ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) mengklaim telah berupaya meningkatkan kesejahteraan perangkat desa melalui revisi UU Desa. Namun, tanpa perubahan status menjadi ASN, hak-hak seperti THR tetap di luar jangkauan. “Kami terus berkoordinasi dengan Kemendagri dan Kemenkeu, tapi ini soal regulasi dan fiskal,” kata seorang pejabat Kemendes PDTT pada 9 Maret 2025.

Pandangan Ahli Tentang Ketimpangan Struktural

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Robert Z. Lawang, yang pernah memberikan pandangan saat pembahasan RUU Desa pada 2012, menyebut ketimpangan ini sebagai masalah struktural. Dalam wawancara dengan wartadetik.com pada 10 Maret 2025, ia menilai bahwa perangkat desa berada dalam “zona abu-abu” antara pegawai pemerintah dan tenaga honorer.

“Mereka bukan ASN, tapi tugasnya setara atau bahkan lebih berat di tingkat desa. Pemerintah harus berani ambil langkah besar, entah itu mengangkat mereka jadi ASN atau membuat skema kesejahteraan khusus,” ujarnya.

Lawang juga menyoroti janji Prabowo tentang desentralisasi dan pemberdayaan desa. “Kalau desa mau jadi lokomotif pembangunan, perangkat desanya harus sejahtera. THR itu bukan sekadar uang, tapi simbol pengakuan,” tambahnya.

Moral dan Pelayanan

Ketidakadilan ini berdampak nyata pada semangat kerja perangkat desa. Suryadi dari Lampung Utara mengaku sering kehilangan motivasi. “Kalau urusan warga mendesak malam hari, kami tetap datang. Tapi kalau lihat PNS dapat THR, hati kecil kami bertanya, kapan giliran kami?” katanya. Di Bandung Barat, Rahmat melaporkan bahwa beberapa perangkat desa mulai mencari pekerjaan sampingan, yang berpotensi mengurangi fokus pada tugas mereka.

Wulan dari Kediri bahkan menyebut ada kecemburuan sosial di desanya. “Warga tahu PNS dapat THR, lalu tanya kenapa kami tidak dapat. Malu rasanya, padahal kami yang paling dekat sama mereka,” ujarnya.

Situasi ini, menurut pengamat pemerintahan desa dari Universitas Gadjah Mada, Agus Santoso, bisa melemahkan pelayanan publik di desa. “Kalau perangkat desa tidak termotivasi, program pemerintah di desa akan tersendat,” katanya kepada wartadetik.com pada 11 Maret 2025.

Harapan atau Ilusi?

PPDI terus mendorong pemerintah untuk mengklarifikasi status perangkat desa, sebuah tuntutan yang telah berlangsung sejak 2018. Namun, dengan sikap pemerintah yang tampak kukuh pada regulasi, harapan itu kian menipis. Beberapa kepala daerah, seperti di Bantul (2009), pernah mengusulkan peningkatan tunjangan lokal, tapi langkah ini terbatas pada kemampuan fiskal masing-masing daerah.

Di mata perangkat desa, Prabowo memiliki kesempatan emas untuk membuktikan komitmennya pada pembangunan desa. “Kami tidak minta banyak, setidaknya beri kami THR sebagai bentuk penghargaan,” ujar Markus dari Manggarai Barat. Suryadi menambahkan, “Pak Prabowo bilang desa itu penting, tapi buktikan dong dengan perhatikan kami, bukan cuma infrastruktur.”


Penulis: Tim Redaksi wartadetik.com

Sumber: Wawancara detikwarta.com, CNN Indonesia, UMSU, puskominfo-ppdi.or.id, Kemendagri, Kemendes PDTT