Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dokter Tifa Sentil Jokowi Bisa Bernasib Seperti Duterte: Benarkah?

Jakarta, 15 Maret 2025 – Nama Dokter Tifa kembali mencuri perhatian publik setelah pernyataannya yang mengaitkan nasib Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

Kritikus vokal ini dikenal kerap menyentil Jokowi terkait berbagai isu, mulai dari keaslian ijazah hingga kebijakan politik.

Namun, kali ini, pernyataan bahwa Jokowi bisa bernasib seperti Duterte—yang baru saja ditangkap atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia—memicu perdebatan sengit di media sosial dan dunia maya.

Benarkah Jokowi berpotensi menghadapi nasib serupa?

Dokter Tifa, atau Tifauziah Tyasumma, adalah seorang ahli epidemiologi yang aktif di platform X.

Ia kerap mengkritik Jokowi dan keluarganya, termasuk putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka.

Salah satu kritiknya yang viral adalah tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu, yang ia sebut sebagai “kebohongan yang sundul langit” (Suara.com, 26 September 2024).

Dokter Tifa Sentil Jokowi Bisa Bernasib Seperti Dutert

Selain itu, ia juga pernah menyentil Menteri Kesehatan terkait penanganan virus HMPV (Suara.com, 13 Januari 2025).

Namun, pernyataan terbarunya yang mengaitkan Jokowi dengan Duterte tampaknya berada pada level berbeda. Duterte, yang ditangkap pada 11 Maret 2025 oleh International Criminal Court (ICC) atas kebijakan perang narkobanya (AP News, 11 Maret 2025), menjadi simbol kontroversi global.

Apakah perbandingan ini masuk akal? Mari kita bedah lebih dalam.

Rodrigo Duterte menjabat sebagai Presiden Filipina dari 2016 hingga 2022. Selama masa kepemimpinannya, ia meluncurkan perang melawan narkoba yang menyebabkan ribuan kematian di luar hukum.

Kebijakan ini menuai kecaman dunia, dan pada akhirnya, ICC mengeluarkan perintah penangkapan atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.

Filipina, yang sempat keluar dari ICC pada 2019, tetap tunduk pada yurisdiksi untuk kasus sebelumnya, sehingga Duterte harus menghadapi konsekuensi hukum.

Kasus Duterte menjadi sorotan karena skala pelanggarannya yang masif dan dampaknya terhadap rakyat Filipina.

Menurut BBC News, lebih dari 6.000 orang tewas dalam operasi anti-narkoba, meskipun angka ini masih diperdebatkan. Penangkapan Duterte pada Maret 2025 menandai puncak investigasi panjang oleh ICC.

Sebaliknya, Jokowi, yang masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2024, memiliki rekam jejak berbeda. Pemerintahannya memang pernah dikritik terkait isu hak asasi manusia, terutama kasus-kasus masa lalu seperti peristiwa 1965, Timor Leste, dan konflik Papua.

Pada 2023, Jokowi secara terbuka mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu dan membentuk tim penyelesaian non-yudisial (Jakarta Globe, 11 Januari 2023).

Langkah ini dianggap sebagai upaya rekonsiliasi, bukan pengakuan atas pelanggaran selama masa kepemimpinannya.

Namun, organisasi seperti Human Rights Watch pernah menyoroti kebuntuan penyelesaian kasus HAM di era Jokowi (HRW, 16 Agustus 2016).

Meski begitu, tidak ada bukti bahwa Jokowi terlibat langsung dalam pelanggaran HAM berskala besar seperti Duterte.

Fokus kritik terhadapnya lebih kepada kebijakan ekonomi, politik dinasti, dan isu pendidikan—bukan pembunuhan atau kekerasan sistematis.

Salah satu perbedaan krusial adalah status keanggotaan ICC. Filipina bergabung dengan ICC hingga 2019, sehingga kasus Duterte tetap bisa diproses.

Sebaliknya, Indonesia bukan anggota ICC (SpringerLink, 2018). Artinya, tidak ada yurisdiksi internasional yang bisa menyeret Jokowi ke pengadilan serupa, kecuali ada perubahan kebijakan drastis di masa depan.

Secara hukum domestik, Jokowi juga tidak menghadapi ancaman serius pasca-jabatan.

Tidak ada investigasi resmi atau tuduhan pelanggaran HAM yang menargetkannya secara pribadi hingga Maret 2025. Ini berbeda jauh dengan Duterte, yang kasusnya sudah menjadi agenda internasional sejak lama.

Pernyataan Dokter Tifa tampaknya lebih bersifat provokatif ketimbang berbasis fakta hukum. Kritiknya terhadap Jokowi selama ini lebih bersifat personal dan politis, bukan terkait HAM.

Mengaitkan Jokowi dengan Duterte bisa jadi strategi untuk menarik perhatian publik, terutama di tengah perbincangan global tentang penangkapan Duterte. Namun, tanpa bukti konkret atau konteks HAM yang setara, perbandingan ini sulit dipertahankan.

Kemungkinan Jokowi menghadapi nasib serupa sangat kecil, bahkan nyaris nol, kecuali ada perubahan drastis seperti bergabungnya Indonesia ke ICC atau munculnya bukti pelanggaran HAM baru yang signifikan

Dokter Tifa berhasil memanaskan suasana dengan pernyataannya, tetapi fakta menunjukkan bahwa nasib Jokowi jauh dari cermin Duterte. Bagi Anda yang penasaran dengan dinamika ini, pantau terus perkembangan berita di DetikWarta.com.

Bagikan pendapat Anda di kolom komentar: apakah Anda setuju dengan pernyataan Dokter Tifa, atau ini hanya sensasi belaka? Jangan lupa subscribe newsletter kami untuk update berita terkini langsung ke inbox Anda!