Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

100 Hari Kepemimpinan Prabowo: Kasus Korupsi Hasto Kristiyanto Jadi Sorotan Utama

Jakarta – Memasuki 100 hari pertama kepemimpinannya yang berakhir pada 27 Januari 2025, Presiden Prabowo Subianto menghadapi sorotan tajam terkait komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Salah satu kasus besar yang mencuri perhatian publik adalah penetapan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 24 Desember 2024. Kasus ini, yang melibatkan dugaan suap dan penghalangan penyidikan terkait Harun Masiku, politisi PDI-P yang buron sejak 2020, menjadi simbol ujian awal bagi administrasi Prabowo dalam menangani korupsi endemik di Indonesia. Meskipun tidak ada bukti langsung bahwa Prabowo secara pribadi mengungkap kasus ini, dukungan tersirat dari pemerintahannya terhadap langkah KPK memicu spekulasi: apakah ini langkah nyata melawan korupsi atau sekadar permainan politik?

Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024, mengakhiri era kepemimpinan Joko Widodo yang berlangsung selama satu dekade. Dengan latar belakang sebagai mantan jenderal militer dan Menteri Pertahanan, Prabowo memenangkan pemilu 2024 dengan 58,59% suara, mengungguli pesaingnya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Dalam pidato pelantikannya, ia menjanjikan pemerintahan yang tegas, fokus pada pertumbuhan ekonomi 8% per tahun, serta pemberantasan korupsi yang telah lama menjadi momok bagi bangsa. Menurut laporan Bloomberg (20 Oktober 2024), Prabowo menegaskan bahwa korupsi adalah "penyakit yang harus disembuhkan" untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045.

image by wartadetik.com

100 hari pertama kepemimpinannya, yang berakhir pada 27 Januari 2025, menjadi periode kritis untuk membuktikan janji-janji tersebut. Namun, sorotan tidak hanya tertuju pada kebijakan ekonomi atau efisiensi energi yang menjadi prioritasnya, tetapi juga pada kasus korupsi besar yang muncul di bawah pengawasan KPK. Kasus Hasto Kristiyanto, yang ditetapkan sebagai tersangka tepat sebelum Natal 2024, menjadi titik fokus yang menggambarkan dinamika politik dan hukum di awal era Prabowo.

Kasus ini berakar pada skandal suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024. Hasto Kristiyanto, politikus senior PDI-P berusia 58 tahun, diduga memainkan peran kunci dalam memfasilitasi suap kepada Wahyu Setiawan, mantan komisioner KPU, untuk mengamankan kursi DPR bagi Harun Masiku. Harun, yang gagal lolos pemilu 2019, diduga membayar suap sebesar Rp850 juta melalui perantara untuk mendapatkan posisi tersebut. Wahyu Setiawan sendiri telah divonis tujuh tahun penjara pada 2020, sementara Harun menjadi buron hingga kini.

Penyelidikan KPK terhadap Hasto sebenarnya telah berlangsung sejak 2020, namun baru pada 24 Desember 2024 ia resmi ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Jakarta Globe (25 Desember 2024), Hasto tidak hanya diduga terlibat dalam suap, tetapi juga menghalangi penyidikan dengan membantu Harun menghindari penangkapan dan memerintahkan penghancuran bukti, termasuk ponsel yang digunakan untuk komunikasi. KPK akhirnya menahan Hasto pada 20 Februari 2025 untuk 20 hari, dan sidang perdananya dijadwalkan pada 14 Maret 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kronologi kasus ini menunjukkan proses yang panjang dan penuh liku. Pada Januari 2020, KPK menangkap Wahyu Setiawan dan mengidentifikasi Harun sebagai tersangka. Namun, Harun berhasil melarikan diri, diduga dengan bantuan jaringan internal PDI-P. Penyelidikan terhadap Hasto tertunda selama beberapa tahun, yang menurut Tempo.co (11 Juni 2024) disebabkan oleh tekanan politik di era Jokowi. Baru setelah Prabowo berkuasa, KPK tampaknya mendapatkan momentum untuk mengusut kasus ini hingga tuntas.

Meskipun KPK adalah lembaga independen, langkah tegasnya dalam kasus Hasto tidak lepas dari konteks politik di bawah kepemimpinan Prabowo. Dalam wawancara dengan The Star (1 Januari 2025), Prabowo menyatakan bahwa ia akan memberikan "ruang penuh" bagi KPK untuk bekerja tanpa intervensi politik, sebuah perubahan sikap dibandingkan era Jokowi yang kerap dikritik karena melemahkan KPK melalui revisi undang-undang pada 2019. Dukungan ini terlihat dari ketidakadanya pernyataan publik dari Istana yang menghambat penyelidikan, berbeda dengan kasus-kasus besar sebelumnya yang sering diwarnai tekanan eksternal.

Analis politik dari Universitas Indonesia, Dr. Arief Budiman, dalam wawancara dengan wartadetik.com (5 Maret 2025), menilai bahwa administrasi Prabowo tampaknya ingin menjadikan kasus Hasto sebagai "contoh nyata" komitmen anti-korupsi. "Ini adalah sinyal bahwa pemerintah baru tidak akan mentolerir korupsi, bahkan dari tokoh oposisi sekalipun," ujarnya. Namun, ia juga memperingatkan bahwa pendekatan ini bisa menjadi pedang bermata dua, terutama jika dianggap sebagai alat politik untuk melemahkan PDI-P, partai oposisi terbesar di DPR.

Penetapan Hasto sebagai tersangka memicu reaksi keras dari PDI-P. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini menyebut kasus tersebut sebagai "kriminalisasi hukum" dengan motif politik. Dalam konferensi pers pada 26 Desember 2024, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menyatakan bahwa penyelidikan ini adalah "serangan sistematis terhadap oposisi" di tengah ketegangan dengan pemerintahan Prabowo. Ketegangan ini diperparah oleh pengusiran Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan Bobby Nasution dari PDI-P pada 17 Desember 2024, hanya seminggu sebelum Hasto menjadi tersangka.

Hasto sendiri, dalam wawancara eksklusif dengan Asia Times (Februari 2025) beberapa jam sebelum ditahan, menegaskan bahwa kasus ini adalah "intimidasi politik" untuk membungkam kritiknya terhadap Jokowi dan koalisi Prabowo-Gibran. "Saya siap menghadapi proses hukum, tetapi rakyat harus tahu bahwa ini bukan tentang keadilan, melainkan kekuasaan," katanya. Pernyataan ini didukung oleh sejumlah aktivis anti-korupsi, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), yang mempertanyakan mengapa KPK baru bertindak setelah empat tahun kasus Harun Masiku menggantung.

Kasus Hasto Kristiyanto memiliki implikasi luas bagi lanskap politik Indonesia. Pertama, ini memperkuat narasi bahwa Prabowo serius dalam pemberantasan korupsi, sebuah isu yang menjadi salah satu kelemahan pemerintahan sebelumnya. Laporan The Guardian (28 Januari 2025) menyebutkan bahwa approval rating Prabowo tetap tinggi di angka 70% pada 100 hari pertamanya, sebagian berkat persepsi publik bahwa ia "berani" menangani kasus besar. Namun, di sisi lain, kasus ini juga memperdalam polarisasi politik antara Koalisi Indonesia Maju yang dipimpin Prabowo dan PDI-P sebagai oposisi.

Dari sisi hukum, sidang Hasto pada 14 Maret 2025 akan menjadi ujian kredibilitas KPK. Jika bukti yang diajukan lemah atau prosesnya dianggap bias, kepercayaan publik terhadap lembaga anti-korupsi ini bisa kembali tergerus. Sebaliknya, jika KPK berhasil membuktikan dakwaan, ini bisa menjadi preseden penting bagi penegakan hukum di era Prabowo.

Kasus Hasto tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah korupsi di Indonesia. Menurut Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada 2024 berada di peringkat 110 dari 180 negara, mencerminkan tantangan sistemik yang masih membelit. Dalam 100 hari pertama Prabowo, kasus ini menjadi cerminan bagaimana korupsi sering kali bercampur dengan dinamika politik. Analis dari Lowy Institute (Januari 2025) menyebut periode awal Prabowo sebagai "混乱" (kacau), dengan kebijakan yang kadang kontradiktif—seperti usulan awal amnesti bagi koruptor yang kemudian diganti dengan ancaman hukuman 50 tahun penjara.

Di balik kasus Hasto, ada pertanyaan besar: apakah ini murni langkah hukum atau bagian dari strategi politik? PDI-P, sebagai partai berpengaruh dengan basis massa kuat, menjadi target yang logis jika pemerintah ingin melemahkan oposisi. Namun, tanpa bukti konkret keterlibatan Prabowo secara langsung, tuduhan ini tetap spekulatif. Yang jelas, kasus ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak pernah sederhana—selalu ada garis tipis antara keadilan dan kepentingan politik.

Sidang Hasto pada 14 Maret 2025 akan menjadi titik balik. Jika terbukti bersalah, ini bisa memperkuat legitimasi anti-korupsi Prabowo, tetapi juga berpotensi memicu perlawanan lebih keras dari PDI-P. Sebaliknya, jika Hasto dibebaskan, pemerintah dan KPK bisa menghadapi tuduhan bias atau ketidakmampuan. Sementara itu, pencarian Harun Masiku tetap menjadi kunci—keberhasilan menangkapnya akan menjadi bukti nyata efektivitas penegakan hukum di era baru ini.

Pada akhirnya, 100 hari pertama Prabowo menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas, tetapi tantangannya jauh lebih kompleks dari sekadar janji kampanye. Kasus Hasto Kristiyanto bukan hanya tentang satu individu, tetapi tentang bagaimana Indonesia di bawah Prabowo akan menavigasi perpaduan antara hukum, politik, dan kepercayaan publik.


Artikel ini disusun berdasarkan data dari berbagai sumber terpercaya, termasuk Jakarta Globe, Tempo.co, The Guardian, dan Asia Times, serta analisis mendalam oleh tim wartadetik.com.